- Model Etika dalam Bisnis
Carroll dan Buchollz (2005) membagi tiga
tingkatan manajemen dilihat dari cara para pelaku bisnis dalam menerapkan etika
dalam bisnisnya :
1.
Immoral Manajemen
Immoral manajemen merupakan tingkatan
terendah dari model manajemen dalam menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis.
Manajer yang memiliki manajemen tipe ini pada umumnya sama sekali tidak
mengindahkan apa yang dimaksud dengan moralitas, baik dalam internal organisasinya
maupun bagaimana dia menjalankan aktivitas bisnisnya. Para pelaku bisnis yang
tergolong pada tipe ini, biasanya memanfaatkan kelemahan-kelemahan dan
kelengahan-kelengahan dalam komunitas untuk kepentingan dan keuntungan diri
sendiri, baik secara individu atau kelompok mereka. Kelompok manajemen ini
selalu menghindari diri dari yang disebut etika. Bahkan hukum dianggap sebagai
batu sandungan dalam menjalankan bisnisnya.
2.
Amoral Manajemen
Tingkatan kedua dalam aplikasi etika dan
moralitas dalam manajemen adalah amoral manajemen. Berbeda dengan immoral
manajemen, manajer dengan tipe manajemen seperti ini sebenarnya bukan tidak
tahu sama sekali etika atau moralitas. Ada dua jenis lain manajemen tipe amoral
ini, yaitu Pertama, manajer yang tidak sengaja berbuat amoral (unintentional
amoral manager). Tipe ini adalah para manajer yang dianggap kurang peka, bahwa
dalam segala keputusan bisnis yang diperbuat sebenarnya langsung atau tidak
langsung akan memberikan efek pada pihak lain. Oleh karena itu, mereka akan
menjalankan bisnisnya tanpa memikirkan apakah aktivitas bisnisnya sudah
memiliki dimensi etika atau belum. Manajer tipe ini mungkin saja punya niat
baik, namun mereka tidak bisa melihat bahwa keputusan dan aktivitas bisnis
mereka apakah merugikan pihak lain atau tidak. Tipikal manajer seperti ini
biasanya lebih berorientasi hanya pada hukum yang berlaku, dan menjadikan hukum
sebagai pedoman dalam beraktivitas. Kedua, tipe manajer yang sengaja berbuat
amoral. Manajemen dengan pola ini sebenarnya memahami ada aturan dan etika yang
harus dijalankan, namun terkadang secara sengaja melanggar etika tersebut
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bisnis mereka, misalnya ingin melakukan
efisiensi dan lain-lain. Namun manajer tipe ini terkadang berpandangan bahwa etika
hanya berlaku bagi kehidupan pribadi kita, tidak untuk bisnis. Mereka percaya
bahwa aktivitas bisnis berada di luar dari pertimbangan-pertimbangan etika dan
moralitas.
Widyahartono (1996) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar pemikirannya sebagai berikut :
Widyahartono (1996) mengatakan prinsip bisnis amoral itu menyatakan “bisnis adalah bisnis dan etika adalah etika, keduanya jangan dicampur-adukkan”. Dasar pemikirannya sebagai berikut :
§ Bisnis adalah suatu bentuk persaingan yang mengutamakan
dan mendahulukan kepentingan ego-pribadi. Bisnis diperlakukan seperti permainan
(game) yang aturannya sangat berbeda dari aturan yang ada dalam
kehidupan sosial pada umumnya.
§ Orang yang mematuhi aturan moral dan ketanggapan sosial (social
responsiveness) akan berada dalam posisi yang tidak menguntungkan di tengah
persaingan ketat yang tak mengenal “values” yang menghasilkan segala
cara.
§ Kalau suatu praktek bisnis dibenarkan secara legal
(karena sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan karena law enforcement nya
lemah), maka para penganut bisnis amoral itu justru menyatakan bahwa praktek
bisnis itu secara “moral mereka” (kriteria atau ukuran mereka) dapat
dibenarkan. Pembenaran diri itu merupakan sesuatu yang ”wajar’ menurut mereka.
Bisnis amoral dalam dirinya meskipun ditutup-tutupi tidak mau menjadi “agen
moral” karena mereka menganggap hal ini membuang-buang waktu, dan mematikan usaha
mencapai laba.
3.
Moral Manajemen
Tingkatan tertinggi dari penerapan
nilai-nilai etika atau moralitas dalam bisnis adalah moral manajemen. Dalam
moral manajemen, nilai-nilai etika dan moralitas diletakkan pada level standar
tertinggi dari segala bentuk perilaku dan aktivitas bisnisnya. Manajer yang
termasuk dalam tipe ini hanya menerima dan mematuhi aturan-aturan yang berlaku
namun juga terbiasa meletakkan prinsip-prinsip etika dalam kepemimpinannya.
Seorang manajer yang termasuk dalam tipe ini menginginkan keuntungan dalam
bisnisnya, tapi hanya jika bisnis yang dijalankannya secara legal dan juga
tidak melanggar etika yang ada dalam komunitas, seperti keadilan, kejujuran,
dan semangat untuk mematuhi hukum yang berlaku. Hukum bagi mereka dilihat
sebagai minimum etika yang harus mereka patuhi, sehingga aktivitas dan tujuan
bisnisnya akan diarahkan untuk melebihi dari apa yang disebut sebagai tuntutan
hukum. Manajer yang bermoral selalu melihat dan menggunakan prinsip-prinsip
etika seperti, keadilan, kebenaran, dan aturan-aturan emas (golden rule)
sebagai pedoman dalam segala keputusan bisnis yang diambilnya.
- Sumber Nilai Etika
1.
Agama
Agama adalah sumber dari segala moral dalam etika apapun dengan kebenarannya yang absolut. Tiada keraguan dan tidak boleh diragukan nilai-nilai etika yang bersumber dari agama. Agama berkorelasi kuat dengan moral. Setiap agama mengandung ajaran moral atau etika yang di jadikan pegangan bagi para penganutnya. Pada umumnya, kehidupan beragama yang baik akan menghasilkan kehidupan moral yang baik pula. Orang-orang dalam organisasi bisnis secara luas harus menganut nilai shiddiq, tabligh, amanah dan fathanah.
Agama adalah sumber dari segala moral dalam etika apapun dengan kebenarannya yang absolut. Tiada keraguan dan tidak boleh diragukan nilai-nilai etika yang bersumber dari agama. Agama berkorelasi kuat dengan moral. Setiap agama mengandung ajaran moral atau etika yang di jadikan pegangan bagi para penganutnya. Pada umumnya, kehidupan beragama yang baik akan menghasilkan kehidupan moral yang baik pula. Orang-orang dalam organisasi bisnis secara luas harus menganut nilai shiddiq, tabligh, amanah dan fathanah.
2.
Filsafat
Sumber utama nilai-nilai etika yang dapat
dijadikan sebagai acuan dan referensi dalam pengelolaan dan pengendalian
perilaku pebisnis dengan aktivitas usaha bisnisnya adalah filsafat.
Ajaran-ajaran filsafat tersebut mengandung nilai-nilai kebenaran yang bersumber
dari pemikiran-pemikiran filsuf dan ahli filsafat yang terus berkembang sesuai
dengan perkembangan zaman.
3.
Budaya
Referensi penting lainnya yang dapat
dimanfaatkan sebagai acuan etika bisnis adalah pengalaman dan perkembangan
budaya, baik budaya dari suatu bangsa maupun budaya yang bersumber dari
berbagai negara (Cracken, 1986). Budaya yang mengalami transisi akan melahirkan
nilai, aturan-aturan dan standar-standar yang diterima oleh suatu komunitas
tertentu dan selanjutnya diwujudkan dalam perilaku seseorang, suatu kelompok
atau suatu komunitas yang lebih besar.
4.
Hukum
Hukum merupakan aturan hidup yang bersifat
memaksa dan si pelanggar dapat diberi tindakan hukum yang tegas dan nyata.
Hukum moral dalam banyak hal lebih banyak mewarnai nilai-nilai etika. Hukum
moral adalah tuntunan perilaku manusia yang ditaati karena kesadaran yang
bersumber pada hati nurani dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan.
Selain hukum moral yang biasanya tidak tertulis dan hanya ditulis untuk penjelasan informasi semata, etika bisnis juga mengadopsi aturan-aturan yang berlaku pada suatu daerah, negara atau kesepakatan-kesepakatan hukum internasional. Harapan-harapan etika ditentukan oleh hukum yang berlaku itu. Hukum mengatur serta mendorong perbaikan masalah yang dipandang buruk atau baik dalam suatu komunitas. Sayangnya hingga saat ini kita masih menemukan kendala-kendala penyelenggaraan hukum etika di Indonesia.
Selain hukum moral yang biasanya tidak tertulis dan hanya ditulis untuk penjelasan informasi semata, etika bisnis juga mengadopsi aturan-aturan yang berlaku pada suatu daerah, negara atau kesepakatan-kesepakatan hukum internasional. Harapan-harapan etika ditentukan oleh hukum yang berlaku itu. Hukum mengatur serta mendorong perbaikan masalah yang dipandang buruk atau baik dalam suatu komunitas. Sayangnya hingga saat ini kita masih menemukan kendala-kendala penyelenggaraan hukum etika di Indonesia.
- Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Etika Manajerial
1.
Leadership
Satu hal penting dalam penerapan etika bisnis di perusahaan adalah peran seorang pemimpin/leadership. Pemimpin menjadi pemegang kunci pelaksanaan yang senantiasa dilihat oleh seluruh karyawan. Di berbagai kondisi, saat krisis sekalipun, seorang pemimpin haruslah memiliki kinerja emosional & etika yang tinggi. Pada prakteknya, dibutuhkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual dari seorang pemimpin dalam penerapan etika bisnis ini.
Kepemimpinan yang baik dalam bisnis adalah kepemimpinan yang beretika. Etika dalam berbisnis memberikan batasan akan apa yang yang sebaiknya dilakukan dan tidak. Pemimpin sebagai role model dalam penerapan etika bisnis, akan mampu mendorong karyawannya untuk terus berkembang sekaligus memotivasi agar kapabilitas karyawan teraktualisasi.
Satu hal penting dalam penerapan etika bisnis di perusahaan adalah peran seorang pemimpin/leadership. Pemimpin menjadi pemegang kunci pelaksanaan yang senantiasa dilihat oleh seluruh karyawan. Di berbagai kondisi, saat krisis sekalipun, seorang pemimpin haruslah memiliki kinerja emosional & etika yang tinggi. Pada prakteknya, dibutuhkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual dari seorang pemimpin dalam penerapan etika bisnis ini.
Kepemimpinan yang baik dalam bisnis adalah kepemimpinan yang beretika. Etika dalam berbisnis memberikan batasan akan apa yang yang sebaiknya dilakukan dan tidak. Pemimpin sebagai role model dalam penerapan etika bisnis, akan mampu mendorong karyawannya untuk terus berkembang sekaligus memotivasi agar kapabilitas karyawan teraktualisasi.
2.
Strategi dan Performasi
Fungsi yang penting dari sebuah manajemen
adalah untuk kreatif dalam menghadapi tingginya tingkat persaingan yang membuat
perusahaannya mencapai tujuan perusahaan terutama dari sisi keuangan tanpa
harus menodai aktivitas bisnisnya berbagai kompromi etika. Sebuah perusahaan
yang jelek akan memiliki kesulitan besar untuk menyelaraskan target yang ingin
dicapai perusahaannya dengan standar-standar etika. Karena keseluruhan strategi
perusahaan yang disebut excellence harus bisa melaksanakan seluruh
kebijakan-kebijakan perusahaan guna mencapai tujuan perusahaan dengan cara yang
jujur.
3.
Karakter Individu
Perjalanan hidup suatu perusahaan tidak lain
adalah karena peran banyak individu dalam menjalankan fungsi-fungsinya dalam
perusahaan tersebut. Perilaku para individu ini tentu akan sangat mempengaruhi
pada tindakan-tindakan mereka di tempat kerja atau dalam menjalankan aktivitas
bisnisnya.
Semua kualitas individu nantinya akan
dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yang diperoleh dari luar dan kemudian
menjadi prinsip yang dijalani dalam kehidupannya dalam bentuk perilaku.
Faktor-faktor tersebut yang pertama adalah pengaruh budaya, pengaruh budaya ini
adalah pengaruh nilai-nilai yang dianut dalam keluarganya. Seorang berasal dari
keluarga tentara, mungkin saja dalam keluarganya di didik dengan disiplin yang
kuat, anak anaknya harus beraktivitas sesuai dengan aturan yang diterapkan
orang tuanya yang kedua, perilaku ini akan dipengaruhi oleh lingkungannya yang
diciptakan di tempat kerjanya. Aturan di tempat kerja akan membimbing individu
untuk menjalankan peranannya di tempat kerja. Peran seseorang dalam organisasi
juga akan menentukan perilaku dalam organisasi, seseorang yang berperan sebagai
direktur perusahaan, akan merasa bahwa dia adalah pemimpin dan akan menjadi
panutan bagi para karyawannya, sehingga dalam bersikap dia pun akan mencoba
menjadi orang yang dapat dicontoh oleh karyawannya, misalnya dia akan selalu
datang dan pulang sesuai jam kerja yang ditentukan oleh perusahaan. Faktor yang
ketiga adalah berhubungan dengan lingkungan luar tempat dia hidup berupa
kondisi politik dan hukum, serta pengaruh–pengaruh perubahan ekonomi. Moralitas
seseorang juga ditentukan dengan aturan-aturan yang berlaku dan kondisi negara
atau wilayah tempat tinggalnya saat ini. Ke semua faktor ini juga akan terkait
dengan status individu tersebut yang akan melekat pada diri individu tersebut
yang terwujud dari tingkah lakunya.
4.
Budaya Organisasi
Budaya organisasi adalah suatu kumpulan
nilai-nilai, norma-norma, ritual dan pola tingkah laku yang menjadi
karakteristik suatu organisasi. Setiap budaya perusahaan akan memiliki dimensi
etika yang didorong tidak hanya oleh kebijakan-kebijakan formal perusahaan,
tapi juga karena kebiasaan-kebiasaan sehari-hari yang berkembang dalam
organisasi perusahaan tersebut, sehingga kemudian dipercayai sebagai suatu
perilaku, yang bisa ditandai mana perilaku yang pantas dan mana yang tidak
pantas.
Budaya-budaya perusahaan inilah yang membantu
terbentuknya nilai dan moral di tempat kerja, juga moral yang dipakai untuk
melayani para stakeholdernya. Aturan-aturan dalam perusahaan dapat dijadikan
yang baik. Hal ini juga sangat terkait dengan visi dan misi perusahaan.
Banyak hal-hal lain yang bisa kita jadikan contoh bentuk budaya dalam perusahaan. Ketika masuk dalam sebuah bank, misalnya, satpam bank selalu membukakan pintu untuk pengunjung dan selalu mengucapkan salam, seperti selamat pagi ibu…selamat sore pak…sambil menundukkan badannya, dan nilai-nilai sebagiannya. Ini juga budaya perusahaan, yang dijadikan kebiasaan sehari-hari perusahaan.
Banyak hal-hal lain yang bisa kita jadikan contoh bentuk budaya dalam perusahaan. Ketika masuk dalam sebuah bank, misalnya, satpam bank selalu membukakan pintu untuk pengunjung dan selalu mengucapkan salam, seperti selamat pagi ibu…selamat sore pak…sambil menundukkan badannya, dan nilai-nilai sebagiannya. Ini juga budaya perusahaan, yang dijadikan kebiasaan sehari-hari perusahaan.
DAFTAR PUSTAKA :
https://www.google.com/amp/s/sitinovianti.wordpress.com/2015/10/24/model-etika-dalam-bisnis-sumber-nilai-etika-dan-faktor-faktor-yang-mempengaruhi-etika-manajerial/amp/
0 comments:
Post a Comment